Judul ?
Beberapa orang berpendapat bahwa membuat judul untuk sebuah karangan fiksi itu sulitnya bukan main, tetapi ada juga beberapa orang yang berpikir sebaliknya. Judul suatu karangan, sederhananya memiliki fungsi untuk merepresentasikan garis besar cerita, apa yang membedakannya dengan karangan yang lain. Judul karangan adalah taruhan bagi seorang pengarang. Judul karangannya yang menarik dan eye-catching namun tetap tidak norak, akan membuat pembaca tertarik untuk membaca keseluruhan cerita. Namun demikian, judul tidak melulu tentang bagaimana cara membuat pembaca tertarik untuk membaca cerita Anda. Judul harus benar-benar dapat memberi batasan kondisi “here and now” cerita Anda pada pembaca. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa judul juga berfungsi untuk menyetel “mental set” pembaca agar lebih siap dalam menikmati karangan Anda. Beberapa judul telah secara tidak langsung memberi tahu pembaca seperti apa karangan yang akan mereka baca, contohnya: “Misteri Pembunuhan Si Pendekar Kampus”, “Bangkit dari Kubur, “Cintapuccino”, dll.
Namun perlu diingat bahwa judul yang berlebihan malah akan dapat menjadi bumerang bagi Anda. Judul yang “too good too be true” bisa jadi membuat pembaca khawatir bahwa isi cerita di dalamnya tidak sedahsyat “aumannya”. Karena itu sebagai penulis, kita harus berhati-hati dalam menggarap judul. Judul yang kurang baik dapat membuat pembaca meninggalkan karangan kita sebelum sempat membaca paragraph pertama. Bagi penulis, itu adalah mimpi buruk.
Berikut ini adalah beberapa pertimbangan dalam membuat judul sebuah karangan:
1. Cara termudah untuk membuat judul adalah, percaya atau tidak, dengan menampilkan setting di mana atau kapan cerita itu terjadi. Karena itu banyak dijumpai karangan berjudul, “Di Lereng Bukit…..”, “Di Pantai ….., “Kisah Sedih di Malam Minggu”, dll. Saya memandang cara itu sebagai cara yang paling “kurang kreatif” dalam membuat judul. Cara itu satu tingkat lebih tinggi dari kondisi putus asa dan khawatir jika tidak dapat membuat judul yang baik. Saya hanya akan melakukan cara itu jika benar-benar sudah mengalami kebuntuan, dan agaknya semua cara yang saya lakukan untuk membuat judul yang lebih baik, gagal. Cara itu bisa berhasil baik untuk pembaca yang kebetulan punya ikatan dengan tempat atau waktu seperti yang ditampilkan di cerita itu. Namun tetap dilihat dari sisi teknik penyusunannya, saya tidak merekomendasikan cara itu. Terkadang beberapa penulis cerdik memanfaatkan tehnik ini dan dapat berhasil. Caranya adalah mengaitkan judul dengan setting yang memiliki nilai emosional tersendiri, contoh: peristiwa gempa bumi di Yogya, tsunami di Aceh, penaklukan puncak himalaya, dll. Saran saya adalah, jika Anda memang ditempatkan pada kondisi yang mengharuskan Anda menggunakan metode ini, pilihlah secara cermat setting yang ingin Anda tampilkan sebagai judul. Jangan sampai pembaca merasa bahwa setting di judul ini hanya sekedar tempelan, dan tak punya nilai urgensitas.
2. Cara terburuk lainnya untuk membuat judul adalah dengan menggambarkan dengan jelas sekali cerita Anda kepada pembaca, sehingga tanpa membaca cerita Anda pun, pembaca sudah bisa menebak akan ke mana cerita ini berakhir. Judul-judul senada : ”Tragedi....”, “Karma”, “Suatu Hari yang Sedih di….”, ”Kemalangan....”, sebaiknya tidak perlu sering-sering dipakai. Namun demikian saya tidak memungkiri ada beberapa penulis yang punya nyali untuk membuat judul ”Pembunuhan......” dan karangannya itu meledak di pasaran. Pada paragraf pertama, pembaca sudah disodori akhir cerita itu, yaitu meninggalnya ”Mr.....”. Namun demikian uniknya cerita itu mampu menggiring pembaca untuk sedikit demi sedikit membuka rahasia di balik kematian si tokoh di cerita itu. Cara itu adalah metode yang jenius, namun demikian tidak semua orang bisa melakukannya. Jika Anda tidak cukup percaya diri untuk melakukannya, cobalah cara yang biasa saja.
3. Banyak penulis yang berkonsentrasi pada rima judul yang mereka buat. Itu adalah suatu pertimbangan yang bagus, karena perpaduan bunyi yang bagus biasanya dapat menggelitik pembaca. Pembaca akan berpikir bahwa penulis yang menciptakannya pastilah seorang yang kreatif. Ini sudah cukup dijadikan jaminan bahwa cerita yang dihasilkannya pun tentu bagus.
4. Kita harus menyadari bahwa kadang kalimat yang pendek lebih efektif dan memiliki kesan lebih kuat daripada kalimat panjang yang bertele-tele. Coba saja, adakah kata makian yang terdiri dari kalimat yang panjang? Biasanya mereka malah terdiri dari dua suku kata saja.Namun demikian, jika Anda terpaksa harus membuat judul yang panjang, yakinkan bahwa Anda telah mencoba membacanya dengan keras dan juga menunjukkannya pada teman Anda,bahwa judul Anda tidak akan dipersepsikan lain. Panjangnya judul ini bisa disiasati dengan mensinkronkan bunyinya. Contohnya adalah salah satu karangan yang berjudul : ”Kutunggu Datangmu Hanya Untukku”
5. Salah satu cara kreatif dalam membuat judul adalah memunculkan suatu kontradiksi. Ini dilakukan dengan cara memuat dua atau lebih unsur yang bertolak belakang, misalnya ”You Love Me, You Love Me Not”. Dengan cara ini pembaca biasanya akan menjadi penasaran dan selanjutnya membaca karangan Anda untuk menemukan hubungan tersebut.
Menggali Ide, Aduh?
Bukan untuk apa-apa hanya ingin berbagi ilmu.
Bukankah ilmu lebih baik dibagikan daripada di simpan, iya kan?
Menggali Ide ?
Kadang kita merasa heboh sendiri saat mau menulis. "Aduh nggak punya ide nih." "Aduh writer block nih." "Aduh mau nulis apa ya?" dan masih banyak aduh-aduh yang lain. Padahal, dengan menuliskan kata 'aduh' sebagai kalimat pertama di kompi atau lepi kamu, ide akan datang sendiri tanpa diundang dan mungkin pulang dengan sendirinya tanpa diantar.
Masalahnya adalah, masih banyak yang beranggapan, "ahh cuma teori?". Padahal kalau dipraktekin nih, tentu nggak sekadar teori. Ish, bukannya dari teori akan menjadi acuan yang mungkin saja menghebohkan. MIsalnya teori Darwin tentang nenek moyang manusia, atau teori Galileo tentang gaya gravitasi.Sobat RDK, ide memang bahan pokok yang diperlukan saat kita mau menulis sesuatu. Mau novel kek, cerpen kek, fiksimini kek, flash fiction kek, puisi kek, bahkan berita. Setiap hari, setelah saya liputan terus pulang ke lantai V Graha Pena Radar Banten, selalu saja berpikir keras untuk memunculkan ide apa yang harus saya tuangkan dalam bentuk berita. Bahkan ide ini saya butuhkan saat hendak mencari bahan liputan. Setelah ide didapat, barulah kita akan merasa lancar dalam menuliskannya.Nah, kalau berbicara mengenai darimana mendapatkan ide, jawabannya sangat sederhana. Membaca. Ini hal paling sering kita dengar dari mulut penulis senior atau pemula (yang tentu saja mendengar dari para senior, hehe). Masalahnya kita kadang malas membaca. Eits, padahal membaca itu nggak harus membaca buku setebel bendungan Pamarayan kok, bisa jadi membaca koran, majalah, tabloid, komik, bahkan membaca status Facebook dan Twitter teman atau kenalan.Oke, mari kita bergeser sedikit pada pengertian membaca yang lebih luas lagi yakni membaca situasi. Seorang penulis senior yang saya ikuti pelatihannya sangat bersemangat mengatakan, "membaca itu tidak harus teks tapi juga kondisi lingkungan di sekitar kita, dari sanalah kita bisa mendapatkan ide."Wew, ada benernya sih, banyak malah. Misalnya begini, kita lagi pengen banget menulis tapi kita lagi males membaca. Dengan memperhatikan alam sekitar alias membaca dalam tanda kutip, kita bisa dapet ide loh. Misal gini, saat sore-sore gitu jamannya drama Korea Cinderella Step Sister yang dibintangi si unyu Moon Geun Young. Hah? Alhasil, saya gatel membuat cerpen bergenre melow goeslow begitu.Cara lain mendatangkan ide, menonton film (secara saya termasuk moviefreak, liat aja koleksi VCD/DVD film, menumpuk, saingan sama tumpukan buku) atau dengerin musik. Klise? Nggak juga. Dengan mendengarkan musik dan menonton film, seenggaknya membantu kita membangkitkan memori yang pernah kita punya yang mungkin terendap ratusan juta tahun cahaya karena nggak pernah dilongok. Nah, pengalaman empiris yang tiba-tiba muncul inilah menjadikan kita kok merasa lancar banget untuk menulis, dan tau-tau aja kita udah bisa menuliskan tujuh seri novel mengalahkan Seri Harry Potter-nya JK Rowling dalam sejam. Haha, amazing banget.
Hmm,
begitulah.
Yang pasti menggali ide itu nggak sesusah menggali sumur kok.
Dan nggak semudah menggali kubur juga kali, hehe piss. (*)